Lembar yang Tak Bertuan
Bab 1
Di ujung sana, langit senja nampak membias. Aku terpaku menyaksikan lukisan Tuhan nan indah sambil menggenggam erat jari jemari lelaki yang telah menikahiku lebih kurang empat belas tahun ini. Peluh yang membasahi dahinya harum tercium. Aku mengusapnya dan berbisik
" Aku ingin hal ini dapat terulang kembali sebelum kamu pergi."
Aku tahu ini adalah permintaan yang sangat konyol untukku yang sebentar lagi akan menyandang status janda.
Sumber : https://i0.wp.com
Tak banyak berharap dari kebersamaan hari ini, sebab lelaki yang berdiri di depanku ini hanya diam tanpa kata tanpa senyum. Dan bodohnya, sampai detik ini aku belum siap untuk menyudahi episode kisahku dengannya. Yah, siapa yang paling mengenalku dari pada suamiku? Hanya dia setelah kedua orang tuaku meninggal.
Apakah Aku terlalu egois untuk pernikahan kami? lelakiku itu membutuhkan keturunan dari darah dagingnya, sedang aku tak mampu untuk itu. Vonis dokter tiga tahun yang lalu membuatku benar-benar patah dan hancur. Kembali mengingatnya membuat hatiku terluka. Yah, aku hanyalah seorang perempuan mandul.
Di usiaku yang telah memasuki angka 38 tahun, memang bukan lagi usia yang muda, Namun aku masih berharap Tuhan menjawab doaku. Doa yang tak pernah bosan kulangitkan belasan tahun yang lalu hingga detik ini.
Hari ini pilu tak lagi malu menjalari diriku. Mata yang sembab dan pikiran yang terus bertamasyah tanpa arah menghadirkan kegelisahan yang tak pernah mati barang sejenak saja.
Aku memang sedih, hancur, dan terluka. Namun untuk marah kepada Tuhan, aku tak akan bisa. Bagiku Tuhan telah menuliskan takdir yang terbaik untuk perjalanan hidupku. Namun manusiawi bukan jika aku menangis bak seorang anak kecil yang kehilangan benda kesayangannya saat ini? Ya Tuhan, ini terlalu dramatis untukku.
Perpisahan ini terlalu terburu-buru. Namun, aku bisa apa? Orang tuanya tak menginginkan menantu mandul sepertiku. Rasa cinta dan perhatian yang dulu kuperolah dari mertuaku telah terkikis habis dengan pelan selama belasan tahun ini. Keinginan mereka yang kuat untuk memiliki cucu membuat suamiku harus bertindak mengikuti kemauan mereka. Begitu pula dengan perpisahan kami.
Senja telah berlalu bersamaan dengan luapan air mata yang tak bisa kutahan. Detik-detik yang sangat menegangkan bagiku. Sesuai perjanjian, hari ini kami tak lagi serumah. Masing-masing dari kami akan berlabuh ke arah yang tak lagi sama. Meski demikian aku masih menyimpan secercah harapan untukku bisa kembali menua bersama suamiku seperti janji-janjii yang pernah kita semai dulu.
" Jangan menangis, Zah, terbiasalah hidup tanpaku mulai hari ini." Kalimat singkat itu cukup membuatku merinding, dadaku terasa sesak dengan mata yang masih berair.
" Zah, mulai hari ini aku memberimu talak 3." Sesak didadaku semakin menjadi-jadi. Ini seperti mimpi, tanpa basa-basi Reyhan menghadiahi salam perpisahan yang membuat nadiku seolah terputus.
'Oh Tuhan, untuk hari yang lelah dan bersejarah ini, aku sangat mengasihani diriku sendiri. Diri yang lemah terkulai tanpa tenaga membuatku tak mampu menopang tubuhku'. Aku membatin
Tangisku pecah, aku menatap lelaki yang masih berdiri di depanku ini, namun ia sama sekali tak menancapkan matanya padaku. Sungguh ia sama sekali tak merasa iba dengan keadaanku. Mengapa lelaki ramah ini berubah menjadi angkuh dan sombong? Lalu ia pergi meninggalkanku dengan sejuta rasa sakit yang hampir membunuhku.
Aku jatuh tersungkur di atas pasir, senja telah berganti wajah menjadi malam. Lampu-lampu penerangan di sekitar pantai mulai menyala. Lautan nan tenang itu sedang memandangku iba, laut itu tampak teduh. Dan hal ini membuatku semakin menangis pilu, suasana malam ini mengingatkanku pada hari di mana aku dipinang untuk menjadi istrinya.
'Apakah ia sengaja melakukan ini padaku, membuat tempat yang indah ini menjadi saksi bisu untuk sederet bab pertemuan dan perpisahanku dan dia?' Aku kembali membatin.
'Luapkan saja, Zah.'
Bersambung_
Dalam Novel Lembar yang Tak Bertuan
Posting Komentar untuk "Lembar yang Tak Bertuan"