Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lembar yang Tak Bertuan


Bab 2

Jakarta, 03 September 2022 
Aku pulang dengan perasaan yang gundah gulana. Beberapa kali hampir saja aku menabrak motor yang berada di depanku. Seharusnya aku tak mengendarai mobil sendiri. Akan tetapi siapa yang harus kumintai tolong saat ini? Aku sendiri dengan keadaan diri yang sangat memprihatinkan.

Jakarta bukan saja menjadi tempat kelahiranku. Jakarta, kota yang begitu banyak menjadi saksi jejak langkahku hingga saat ini. Aku menangis, bahagia, terpuruk, kecewa, terluka, dan ahh aku tak mampu lagi melanjutkan ceritaku. 


Susah payah aku berkonsentrasi menyetir, akhirnya aku tiba di kediamanku. Rumah berlantai dua yang telah kutempati selama 14 tahun ini bersama Reyhan. Sunyi menyelimutiku. Saat sampai di halaman rumah, aku tak lagi melihat mobil hitam Reyhan yang biasa terparkir. Jantungku berdebar tak karuan, aku kembali menjadi lemas, Reyhan benar-benar telah pergi. 

Perlahan air mataku kembali jatuh. Cukup lama aku terdiam di dalam mobil, menyandarkan kepala pada sandaran kursi. Merenungkan alur hidupku yang cukup tragis. Ditinggal pergi seorang suami saat aku sangat membutuhkannya.

'Jika aku seperti ini terus, dunia akan menertawakanku, apalagi mertuaku. Aku harus tetap melanjutkan hidupku walau dengan kepayahan.' Batinku

***
Lelah dan letih, aku benar-benar  ingin tidur. Aku keluar dari mobil dengan menentang tas. Mobil tak kubiarkan parkir pada tempatnya. Toh, tak ada yang akan menegurku lagi. Jika masih ada Reyhan maka dialah yang selalu risih dengan kelakuanku yang satu ini. 

Pintu rumahku terbuka, Nisrina berdiri tepat di depanku. Wajahnya lesuh dan tertunduk. Perempuan 40 tahun itu tak menyambutku dengan riang seperti biasanya. Barangkali dia tahu aku sedang benar-benar patah sekarang.

" Bu, biar kubantu naik ke kamar, ya?" Tawar Nisrina
Aku hanya melempar senyum padanya. Lalu dia berjalan di sampingku sambil memapah tubuhku yang sangat gontai.

Nisrina membuka pintu kamarku. Aroma parfum Reyhan menyeruak menyambutku. Aku memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam kamar. Sosok Reyhan kembali menari diingatanku. 

" Bu, tadi Bapak nitipin ini ke ibu,"
Nisrina mengambil sebuah amplop coklat yang dia letakkan di atas meja riasku.

Aku mengambil amplop itu dan membukanya. Selembar kertas serupa surat sedang kupegang sekarang. Membaca kop suratnya saja sudah membuat tanganku gemetar. Mengapa secepat ini? Ternyata Reyhan telah mengatur semuanya jauh-jauh hari tanpa sepengetahuanku.

Aku menatap Nisrina yang masih berdiri di depanku dengan tangan yang gemetar. Perempuan yang telah bekerja denganku selama 3 tahun ini ikut merasakan kesedihan yang menyelimutiku. Nisrina tidak pernah kuanggap sebagai pembantu di rumahku, melainkan sahabat bahkan aku menganggapnya sebagai seorang kakak bagiku. Air mataku langsung bercucuran tanpa jeda, tangisku tak lagi menahan suaraku seperti di pantai tadi. Aku mengeraskan suaraku, meluapkan kegundahan, emosional yang sedari tadi kutahan.

" Tidurlah, Bu!" Nisrina berucap sambil memelukku. 

Aku masih dalam sesegukan tangisku, lalu membaringkan tubuh yang menuntut untuk istirahat. Kepalaku rasanya mau pecah. Aku memeluk lembar putih itu tanpa membaca isinya. Bukan aku tak ingin membaca, namun rasanya mataku seolah rabun melihat aksara yang tertulis di dalamnya. Sudahi, biar besok saja kubaca.

Lembar kertas itu kupeluk erat. Dan akhirnya aku terlelap dalam tidur yang cukup nyenyak. 

***
Aku terbangun dengan perasaan hampa. Gorden kamarku masih tertutup rapat. Kamarku masih gelap padahal di luar sana hari sudah terang. Mestinya hari ini aku dan Reyhan akan pergi ke Ambon. Kami akan menuntaskan janji liburan di kota kecil nan indah itu. Namun, janji itu tak berlaku sekarang. Semua hanya kalimat usang yang tak bertuan lagi.

Aku bangkit dari kasur sambil memegang lembar putih yang tak sempat kubaca semalam. Sebenarnya tanpa aku membacanya pun, aku sudah tahu bahwa lembar putih itu adalah surat cinta dari Kantor Pengadilan Agama. Surat panggilan untuk perceraianku dan Reyhan. Namun, jika aku tak membacanya maka aku tak bisa tahu gugatan apa yang dia layangkan padaku. Dan aku harus tahu itu sebelum lusa aku harus hadir dipersidangan pertamaku.

Aku berdiri menghadap jendela ganda kamarku, lalu membuka gorden, ternyata keadaan di luar terlihat mendung. Sama seperti keadaan hatiku. Kutatap cuaca mendung di luar sana. Tak terasa sekelabat rindu kembali menamparku, menyadarkanku bahwa ini sungguh sangat nyata.

Aku berharap Reyhan masih di sini bersamaku. Tapi nyatanya aku di sini sendirian. Tubuhku terasa lemah, rasanya tak ada lagi kekuatan yang tersisa. Begitu banyak kata seharusnya yang berputar di kepala. Lalu air mataku kembali turun tanpa lagi permisi. Meski sebenarnya aku sudah bosan dan lelah untuk menangis. Sayangnya, tubuh dan pikiranku tak bisa bekerja sama. Keinginan otakku tak diterima oleh tubuhku.

Bersambung
Dalam Novel Lembar yang Tak Bertuan.



Posting Komentar untuk "Lembar yang Tak Bertuan"